Sometimes people come into your life and you know right away that they were meant to be there .They serve some sort of purpose . Teach you a lesson or help figure out who you are or who you want to become . You never know who these people may be ; your roomate,neighbour,professor,long lost friend,lover or even a complete stranger who, when you lock eyes with them , you know that very moment that they will affect your life in some profound way .
And sometimes things happen to you and at the time they may seem horrible,painful and unfair , but in reflection you realize that without overcoming those obstacles you would have never realized you potential , strength , will power or heart . Everything happens for a reason . Nothing happens by chance or by means of good or bad luck . Illmess , injury , love . Lost moments of true greatness and sheer stupidity all occur to test the limits to your soul . Without these small test , if they be events , illneses or relationships , life would be like a smoothly paved, straight, flat road to nowhere . Safe and comfortable but dull and utterly pointless .
The people you meet who affect your life and the successess and downfalls you experience create who you are , and even the bad experiences can be learned from . In fact , they are probably the most poignant and important ones .
If smeone hurts you, betrays you or breaks your heart, forgive them ,for they have helped you learned about trust and the importance of being cautious to who you open your heart to . If someone loves you , you love them back unconditionally . Not only because they love you, but because they are teaching you to love and opening your heart and eyes to things you would have never seen or felt without them .
Make every day counts . Appreciate every moment and take from it everything that you possibly can , for you may never be able to experience it again . Talk to people you have never talked to before and actually listen . Let youself break free and set your sigts high .
Hold your head up because you have every right to . Tell yourself you are a great individual and believe in yourself for if you do not believe in yourself no one else will . You can create your own life as you wish . Create it and then go out and live it .
Adapted from an article which i took from kak hufais room! hehe .. i have no idea why this entry existed hihi . Well actually i think it has many positive points that we can look and ponder upon lah kan , i guess heee :)
Tuesday, July 29, 2008
........Abundant Living........
Posted by Fathiah at 4:55 PM 2 comments
Monday, July 28, 2008
.... Episod 108 ..... - Letihnya -
Sekarang saya selalu paksa diri
Tapi saya lupa nak besederhana
Sekarang ni , saya letih sangat ...
( Saya letih tengok jadual ni... haiz )
tu jek saya nak cakap malam ni ...
Posted by Fathiah at 4:12 AM 0 comments
Labels: Blessed
Saturday, July 26, 2008
...... Ya tareem wa ahlaha ....... :'(
Bila masa ku akan tiba ... berdamping denganmu dan keluargamu .... Kak hufai n halim doakan kita ye ... moga satu hari nanti , tapak kaki ini akan sampai ke sana juga ... Ya tareem wa ahlaha .. Ilahi .. dekatkanlah diri ini dengan pewaris anbiya' mu :'(
Posted by Fathiah at 3:39 PM 0 comments
Friday, July 25, 2008
.... Episod 107 .... - Tenang -
Salamullahi'alaykum
Semalam adalah hari terakhir saya ke rumah syeikh redha untuk talaqqi . Sebabnya? semalam saya dah pun khatamkan qiraat imam syu'bah . Jadinya , saya pun luangkanlah lebih masa kat syubro semalam . Seawal jam 7.15 saya dah pun siap menunggu kak zured , kak tuty dan kak fai di perhentian bas depan rumah ( Tapi tak naik bas .. naik tremco ) . Keluar dari rumah syeikh pula jam 11.15 . Sungguh memenatkan .
Aktiviti selepas itu lebih memenatkan . Mesyuarat orientasi 2008/2009 . Dari jam 2 - 8 . Letihnya tak terkata . Atas sebab2 kekurangan stamina kerana kerja2 semalam , tadi pagi adalah pagi yang paling susah saya nak bangun . Hai lahai . Celik sahaja mata , terus saya dilemma . Nak ke masjid raba'ah untuk solat jumaat atau duduk sahaja di rumah .'' Baki 2 jumaat sahaja lagi aku berada di mesir pegilah fathiah '' '' tapi letihlah , rehat pun bagus juga , nanti kalau penat2 sangat sakit nanti siapa susah ? haiz '' -'' Semalam dah satu hari tak pi masjid , rindu nak solat jemaah pulak , nanti balik sg dah tak dapat nak pi solat jumaat '' '' arrrgghhh tak tau laaa .. macammana ni '' .
Jarum jam sudah hampir ke pukul 1 . Perbualan hati yang berlangsung rancak seperti di atas benar- benar merunsingkan . Akhirnya , saya paksa kaki ini untuk bangun . Dalam lebih kurang 5 min .. ' Bismillahi tawakkaltu 'alalllahi laa hawla walaa quwwata illa billah ' . Saya pun membuka pintu rumah . Pantas saya melangkahkan kaki untuk ke gami' rabaah . Azan dah pun kedengaran . Alhamdulillah , akhirnya , saya berjaya melawan nafsu malas yang dah mula nak bersarang di hati ni .
Tiba sahaja di masjid , jemaah masih lagi ramai yang menunaikan solat sunat . Khutbah pun dah nak mula . Saya cuba hadirkan hati ini sewaktu mendengar khutbah. Hebatnya khutbah jumaat di sini berbanding di singapura , suara dan pengisian khatib sangat-sangat menyentuh hati dan perasaan . Tonasi nya cukup membuat jemaah terjaga . Pengisiannya ?? sering membuat saya menitiskan air mata . Antaranya adalah tentang ibu , pengorbanan ibu , tentang Rasulullah dan banyak lagi topik2 tentang akhlak , hamasah dan tamadun yang dibawa oleh Islam . Hadith rasulullah akan sentiasa menjadi permulaan khutbah . Selalunya hadith2 itulah yang akan membuat kita begitu tertarik untuk duduk dan tekun mendengar isi selanjutnya .
Suasana yang sangat2 hening . Diringi dengan esakan halus tangisan dari beberapa jemaah yang hadir untuk solat jenazah orang-orang tersayang . Suasana solat jumaat sukar saya gambarkan .
Tenangnya tempat itu , seolah - olah dia lah pelindung . Terasa seperti hidup saya terputus dengan dunia luar . Ada sesuatu yang menarik saya untuk sentiasa ke sana . Antaranya adalah , Abla yang sangat2 sayang kepada wafidaat ( pelajar asing@asia ) . Setiap kali saya tersenyum dia akan mencium pipi saya dan tak henti mendoakan kejayaan . ' Rabbuna naggahkum jami'an ' kata2 ini diulang2 . Begitu juga perihal makcik2 arab lain yg senang dengan kehadiran kami .
Tempat itu suatu ketika dahulu mengembalikan semangat juang saya yang hampir hilang sewaktu exam fasl thani . Setelah puas menangis merasa diri sudah putus asa , entah dari mana datang kekuatan hati untuk teruskan semua yang telah saya mulakan .
Suara azan yang berkumandang terus terusan mengajak saya untuk hadir bersama , berjemaah bertemu dia yang Esa . Surah-surah yang dibaca sewaktu solat terus terusan membawa saya hanyut dalam ayat-ayat cinta dari DIA yang berkuasa . Ketenangan itu sungguh tiada tolok bandingnya .
Ilahi anta maqshudiy wa redhaka mathlubiy
Posted by Fathiah at 11:48 PM 0 comments
Labels: Egypt
.... Episod 106 ..... - Atas Nama Perjuangan -
Bismillahil ghafuurur rahiim
Allahumma Solli 'Ala Sayyidina Wa habibina Muhammad S.A.W
' awak , kalau quran kita dah habis hafal , kita dah lega dah . Maddah lain tak perlu nak risau ' . Ana hanya mampu tersenyum mendengarkan luahan hati seorang teman . Di sini , Maddah Al-Quran rata - rata menjadi satu maddah 'killer' bagi pelajar Azhar . Kenapa ye ? Kata orang , hafal Al-Quran ni susah . Mafhumnya adalah , murajaah hafalan tu susah . Sebabnya , nak menghafal tu mudah tapi cabarannya hadir waktu murajaah . Firman Allah S.W.T :
Masih segar lagi dalam ingatan pesanan dari seorang ustaz di ma'ahad tahfiz kelantan . Katanya , Allah dah janji , al-quran tu mudah nak di ingat tapi yang susah tu murajaah :) . Secara peribadi , ana rasa al-Quran ni tak patut jadi maddah killer . Ianya satu - satunya maddah , semakin banyak kita hafal , semakin terasa kurang hafalan tu . Semakin kuat kita cuba untuk ingat , semakin terasa keberkatannya . Usaha dan penat lelah kita menghafal terasa tidak sia - sia . Kalau di dunia Al-Quran jadi maddah asasi di mana2 pusat pengajian islam , di hari penetapan nanti .. dia lah yang akan memberi pertolongan pada kita . Dia lah yang akan memberi syafaat pada kita. Bukan fiqh muqaran , bukan mantiq dan bukan nahu . Jadinya , menghafal Al-Quran dan segala usaha yang diperah untuknya , akan menjadi sebab untuk kita berjaya di dunia dan juga akhirat kelak .
Post ni hanya bertujuan nak berkongsi cetusan rasa . Waktu exam al-quran , ana ingat lagi , kawan - kawan semuanya tengah stress. Sebulan sebelum exam, semua dah mula rasa tertekan . Hafal yang depan , yang belakang lupa . Hafal yang belakang yang depan lupa. Lumrah menghafal , macam tu lah kan . Ana pula , mula murajaah lambat . Ana mula seminggu sebelum imtihan . Setiap kali ana lupa , ana akan rasa stress sangat - sangat . Sebabnya ? Ana dah berkali2 hafal juzu' 1 dan 2 , bila ana terlupa walaupun satu kalimah , ana akan rasa seolah - olah ana dah gagal nak menghafal . Semakin banyak kita murajaah , ada saja yang kita rasa tak kena . Tak tepat dan tak memuaskan . Murajaah waktu itu bukan lagi kerana takut tak terjawab bila ditanya dukturah , tapi takut kalau ditanya Allah nanti , ana akan terdiam kaku .
' Bila kita dah pilih untuk hafal kalamNYA , kita sebenarnya menempuh hidup yang susah , susah di dunia senang di akhirat ' ' Hafal Al-Quran tu sunnah dik , tapi bila dah hafal , murajaah tu jadi wajib ' . 4 tahun dahulu , inilah kata- kata yang diberikan oleh seorang ukhti kepada ana . Dan hari ini , itu lah yang cuba ana pegang . Satu kewajiban menjaga kalam Allah ..
Hari ini juga , ana berada di mesir , menyelam mawad kuliah lughah semata- semata kerana cinta ana untuk Al Furqaan . Sekarang ini , ana diuji dengan satu kegagalan . Atas nama perjuangan , Al-Quran akan ana semadikan dalam hati .. moga perjuangan demi mempertahankan dan menjaga Al-Quran ini diredhaiNYA .
Madaad ya Rasulallah
Posted by Fathiah at 4:57 AM 0 comments
Labels: Egypt
Sunday, July 20, 2008
....Episod 105.... - Takutnye ! -
Waktu : 10 . 30
Tempat : Akhir mahattah
Panas pagi tadi membuat mata terasa pedih . Warna hitam jilbab dan niqab semakin menambah denyutan perit di kepala . ' Ya rab! panasnya ' Bisik hati ku . Kelam kabut aku menelefon kak nani bila pakcik teksi bertanya arah jalan . ' kak .. akhir mahattah tu bila masuk hayyu sabi'e jalan terus jek kan?? ' . Entah kenapa tiba - tiba aku terlupa jalan nak ke akhir mahattah . Teksi yang ku naiki laju memecut kereta di depan . Aku dah tak kuasa nak hiraukan kerenah pemandu2 teksi yang pelbagai . Pandanganku ku lemparkan jauh ke luar tingkap . Hari ini , hari pertama aku akan bertemu dengan kak nani . Orang yang akan menolongku menguruskan kemasukan ku di madrasah tahsinul khutut .
Setelah lebih kurang 10 minit menunggu kedatangan kak nani , aku mengalah dengan panas mentari . Ku atur langkah untuk mencari tempat berteduh .
Setelah selesa dengan keadaan yang ada , aku pun kembali menyambung bahan bacaan yang telah sekian lama cuba ku habiskan . Gerakan freemasonry , kristianisasi dan orientalisma . Karangan dua ustaz khirrij Al-Azhar . Kajian mereka tentang 3 gerakan ini memang masya Allah . Lebih - lebih lagi bila diceritakan sedikit sebanyak tentang khilafah uthmaniyyah . Aku tenggelam dalam sejarah suka duka khilafah terakhir islam itu . Sehingga tak sedar kak nani dah pun sedia berdiri di sebelah .
Selesai sesi ta'aruf antara kita , aku pun terus memberi soalan bertubi2 pada kak nani . Kesian kak nani , kena layankan . ' Adik jangan takut ye , insya Allah dapat masuk , syaratnya hadir muqabalah jek k ' . Jelas kak nani memujuk aku yang takut tak sudah dengan imtihan muqabalah yang terpaksa aku jalani nanti . Ada beberapa perkara yang menarik minatku sepanjang perbualan kami tentang kelas khat ini .
1 , Tahun pertama dan kedua , kami mempunyai 8 mawad . 5 daripadanya madah khusus untuk setiap tulisan , farsi , riq'ah , diwani , thuluth dan nasakh . Maddah keenam lughah arabiah . ketujuh , Lukisan . kelapan , thuruq tadris .
2 , Kufi hanya akan diajar untuk pelajar yang mengambil takhassus @ tahun kelima dan keenam .
3 , ikhwah msia dan kak nani sendiri sebenarnya tidak begitu menggalakkan pengambilan kursus ini kerana , musim sejuk , klass akan habis jam 6 petang . Waktu maghrib pada musim sejuk adalah 5+ ( jadi paham2 la ye , cuaca da gelap . perlu ada musyrif . Jadiii siapa eh nak layan?? hmm ) .
4 , enam tahun pengajian sama dengan degree . Kalau nak sambung MA perlu ke turki :D ( kalau dapat pi boleh tengok tempat2 yang selalu ust hasrizal cerita kan :> )
5 , Pesan kak nani , kalau nak buat latihan , buat lah latihan sikit2 dari sekarang . heheheh ...
Lebih kurang jam 11.30 , aku pun melangkah pergi . Waktu tu , terasa runsing sangat. Tak tau kenapa . Aku tak ada raghbah nak pulang ke rumah . Akhirnya , aku ambil keputusan untuk ke markaz. Entah kenapa semenjak dua menjak ini , aku lebih selesa bersendiri . Berjalan sendiri . Kemana mana pun sendiri . Dah lama aku tak manfaatkan masa bersendiri . Selalunya , aku sibuk ke sana ke mari dengan aktiviti . Terasa indah hidup di bumi kinanah ini bila difikir fikirkan kembali . Sampai sahaja di markaz , aku tenang kembali . Meneruskan kembara bacaan kejatuhan dan kegemilangan khilafah uthmaniyah . Cukup memberi insprasi . Perjuangan demi Islam . Perjuangan demi Ummah . Akhirnya kalah dengan kebodohan dan tipu daya iblis yang bertopengkan manusia . ' Wa makaruu wa makarallah.. Wallahu khairul maakirin ' . Perjuangan Sultan muhammad al-fatih yang berakhir di zaman sultan abdul hamid II akan sentiasa menjadi pedoman buat mereka yang inginkan kekhilafahan islam kembali gemilang :) .
" Lupakah engkau .. Islam itu ditangan tuhannya "
' Ilahi .. panjangkanlah umurku , izinkan aku menjadi pejuangmu ... berilah aku peluang melihat islam gemilang sebelum aku menutup mata '
Posted by Fathiah at 10:32 PM 0 comments
Labels: Fannul muqaddasah
Wednesday, July 16, 2008
- Sultan Abdul Hamid II : Dari istana Yildiz ke pembuangan di Salonika -
SULTAN ABDUL HAMID II (Memerintah 1876-1909)
“Betulkah cikgu, Sultan Abdul Hamid ni jahat dan Ataturk ni baik?”, saya bertanya kepada guru mata pelajaran Sejarah semasa di Darjah 6.
“Kenapa?”, cikgu bertanya balik kepada saya.
“Saya tengok, muka Sultan ni baik. Muka Ataturk yang pelik sikit”, saya cuba mengungkapkan apa yang saya lihat di buku teks kami itu.
“Entahlah, cikgu mengajar apa yang ada di dalam buku”, cikgu saya mengalah. Dia tidak mahu saya memanjangkan persoalan itu. Ia kekal tidak berjawab sehinggalah hampir sedekat selepas itu, saya tiba di Turki.
Saya agak terkejut semasa melalui kawasan Pendik untuk ke rumah Adnan Bey. Sekumpulan lelaki pertengahan umur membaling batu ke poster yang terlekat di tembok jalan.
Ia adalah poster Sultan Abdul Hamid. Wajah yang saya saya lihat di buku teks dahulu. Kini wajah itu dibaling batu. Kenapa mereka bertindak begitu? Hati saya begitu tersentuh. Sultan Abdul Hamid dibenci oleh ramai orang sejak di zaman hidupnya, sampailah ke hari jasa dan baktinya mahu dikenang di dalam sebuah seminar yang diposterkan. Walhal, setiap kali saya membaca mengenai beliau, saya semakin sebak dan kecewa kepada suatu fitnah besar-besaran, bahawa Sultan Abdul Hamid itu digelar sebagai Sultan Merah, Pemerintah Kuku Besi dan pembazir wang negara untuk kelas piano anaknya, dan 1001 lagi tohmahan dunia kepadanya.
Mengapa engkau dibenci begitu sekali oleh manusia dunia ini?
Sesungguhnya perbuatan lelaki itu yang membaling batu kepada poster Sultan Abdul Hamid II, menghilangkan ceria saya ketika tiba di rumah Adnan Bey, guru sejarah saya di Turki.
“Hasrizal, Sultan Abdul Hamid telah membayar harga yang mahal untuk Islam dan Ummah. Saya yakin negara kamu juga ada kesan dakwah Sultan Abdul Hamid. Seruan Pan-Islamism baginda, tersebar ke seluruh ceruk rantau alam. Malaysia juga tidak terkecuali”, Adnan Bey cuba mententeramkan saya sambil menuang cay panas ke cawan.
Ya, memang dakwah Sultan Abdul Hamid sampai ke Tanah Melayu. Namanya disebut di dalam khutbah Jumaat. Datuk nenekku mendoakannya ketika Khilafah retak menanti belah. Baginda menghantar Muhammad Kamil Bey sebagai duta Pan-Islamism ke Kepulauan Melayu. Tetapi nasib Muhammad Kamil Bey tidak baik. Hayatnya tamat di tali gantung di Burma atas alasan mengadakan perancangan untuk mengancam kuasa Koloni British.
Bukan sahaja di Tanah Melayu, seruan Pan Islamism sampai ke Jepun. Maharaja Jepun, Mutsuhito Meiji (1867-1912) telah menghantar jemputan kepada Sultan Abdul Hamid agar mengutuskan mubaligh Islam ke Jepun.
“Kita berdua adalah maharaja empayar Timur. Adalah menjadi kemahuan dan keperluan masyarakat kita untuk saling mengenal dan berhubung baik. Aku melihat kuasa koloni Barat menghantar pendakwah-pendakwah mereka ke tanah airku, tetapi aku tidak bertemu dengan mubaligh agamamu, Islam. Hantarlah mereka ke tanah air ini agar pelajaran agamamu dapat membina hubungan moral antara engkau dan aku”, begitulah surat Mutsuhito kepada Sultan Abdul Hamid.
Seruannya melata dari Ghana hingga ke Korea, melangkau ke Jepun, di tangga istana maharaja. Demi perpaduan umat Islam sedunia, Sultan Abdul Hamid gigih menjalankan tanggungjawab baginda.
Saya minta izin untuk pulang awal. Saya mahu ke Beyazid, melawat makam Sultan Abdul Hamid. Adnan Bey melepaskan saya dengan senyuman.
“Jangan emosi sangat”, katanya sambil melambai kepada saya yang melangkah masuk ke dolmus.
Ketika di Uskudar, mata saya sayup memandang ke Istana Caragan di seberang Bosphorus.
“Baik aku ke Besiktas terlebih dahulu”, saya menukar plan.
Ketika kapal beransur lesu meninggalkan Uskudar, hati saya semakin resah. Kabus musim sejuk yang mengundang mendung di Selat Bosphorus menambahkan lagi perasaan sedih saya yang entah di mana hujung pangkalnya.
Tiba di Besiktas, saya mengambil bas untuk ke Istana Yildiz. Selalunya saya ke sana kerana mahu membaca buku. Tetapi kali ini saya bagai kebingungan terpukau untuk ke sana meredah sejuk tengah hari itu. Semata-mata kerana jiwa saya yang luka ketika melihat poster Sultan Abdul Hamid dibaling batu. Saya menapak laju ke Istana Yildiz, seperti mahu memberitahu kepada Sultan betapa jahil dan zalimnya rakyat baginda bertindak sedemikian rupa
.
Istana Yildiz
“Beritahu mereka Tuanku, bahawa mereka sudah tersilap. Penghinaan mereka kepadamu adalah suatu kesilapan yang besar”, saya terkumat kamit sendirian.
Akhirnya saya tiba di Masjid Hamidiye Yildiz. Ia terletak tidak jauh daripada pintu masuk istana.
“Ayahanda lihat, orang ramai sudah mula memuji kecantikan rupa parasmu. Mulai hari ini ayahanda mahu anakanda memakai hijab yang sempurna kerana anakanda sudah menjadi wanita dewasa”, saya bagai terngiang mendengar suara Sultan Abdul Hamid kepada anaknya Aishah semasa mereka melintas di hadapan Masjid Yildiz ini.
Saya tunduk.
Di hadapan masjid ini, terlalu banyak yang telah berlaku. Baginda Sultan Abdul Hamid pernah cuba dibunuh ketika bom diletakkan di kereta kuda baginda. Pengeboman itu berlaku sejurus selepas solat Jumaat. Allah masih mahu Sultan Abdul Hamid bertakhta memimpin umat.
Di hadapan istana ini, baginda sering mengerjakan solat dan keluar menyapa rakyat yang dekat di hati baginda. Di situ juga, baginda yang menunggang kereta kuda bersama anaknya Aishah, menitahkan agar anaknya bertudung sempurna kerana usik-usik mereka di jalanan adalah petanda kedewasaan puteri baginda Aishah Osmanoglu.
Saya mengerjakan solat Tahiyyatul Masjid di tengah-tengah dewan. Masjid sepi. Hanya ada beberapa orang tua yang bongkok menatap mushaf usang di tingkap masjid mencari sedikit cahaya.
“Ya Allah, apakah yang telah berlaku kepada umat ini?”, saya menadah tangan memohon jawapan dari Allah.
Dari pintu masjid, saya merenung sayup-sayup istana kayu Yıldız. Ia adalah kediaman baginda Sultan Abdul Hamid, selepas berpindah meninggalkan kemewahan kaum keluarganya yang sebelum ini bermastautin di Istana Dolmabahce. Engkau benar-benar pemimpin yang terpuji…
â€Sesungguhnya aku tahu, bahawa nasibku semakin terancam. Aku boleh lari ke Eropah untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah khalifah yang bertanggungjawab ke atas umat ini. Tempatku adalah di sini. Di Istanbulâ€, saya membaca kembali diari Sultan Abdul Hamid yang tergenggam di tangan.
Malam itu, Sultan Abdul Hamid dan keluarganya dikunjungi oleh sekumpulan manusia yang tidak akan dilupakan oleh sejarah.
Emmanuel Carasso, seorang Yahudi warga Itali dan wakil rakyat Salonika (Thessaloniki) di Parlimen Othmaniyyah (Meclis-i Mebusan) melangkah masuk ke istana Yıldız. Turut bersama beliau adalah Aram Efendi, wakil rakyat Armenia, Laz Arif Hikmet Paşa, anggota Dewan Senat yang juga pemimpin Armada Othmaniyyah, serta Arnavut Esat Toptanî, wakil rakyat bandar Daraj di Meclis-i Mebusan.
“Bukankah waktu seperti ini adalah waktu khalifah menunaikan kewajipannya terhadap keluarga. Tidak bolehkah kalian berbincang dengan aku pagi esok?â€, Sultan Abdul Hamid tidak selesa menerima kedatangan mereka yang kelihatannya begitu tergesa-gesa.
Tiada simpati di wajah mereka.
“Ummah telah memecat kamuâ€, Esat PaÅŸa memberitahu. Angkuh benar bunyinya.
Satu persatu wajah ahli rombongan itu diperhati oleh Sultan Abdul Hamid.
“Apakah mereka ini sedar dengan apa yang mereka lakukan?â€, baginda berfikir.
“Jika benar Ummah yang menurunkan aku, mengapa kamu datang dengan lelaki ini?â€, Sultan Abdul Hamid menundingkan jarinya kepada Emmanuel Carasso.
“Apa kena mengenanya Yahudi ini dengan Ummah?â€, wajah baginda kemerah-merahan menahan marah.
Sultan Abdul Hamid memang kenal benar siapa Emmanuel Carasso itu. Dia jugalah yang bersekongkol bersama Theodor Herzl ketika mahu mendapatkan izin menempatkan Yahudi di Palestin dengan penuh licik lebih sedekad yang lalu (1898). Mereka menawarkan pembelian ladang milik Sultan Abdul Hamid di Sancak Palestin sebagai tapak penempatan Yahudi di Tanah Suci itu. Sultan Abdul Hamid menolaknya dengan tegas, termasuk alternatif mereka yang mahu menyewa tanah itu selama 99 tahun.
Pendirian tegas Sultan Abdul Hamid untuk tidak mengizinkan Yahudi bermastautin di Palestin, telah menyebabkan Yahudi sedunia mengamuk. Harganya terlalu mahal. Sultan Abdul Hamid kehilangan takhta, dan Khilafah disembelih agar tamat nyawanya.
“Sesungguhnya aku sendiri tidak tahu, siapakah sebenarnya yang memilih mereka ini untuk menghantar berita penggulinganku malam ituâ€, Sultan Abdul Hamid meluahkan derita hatinya di dalam diari baginda.
Perancangan untuk menggulingkan baginda sudah dimulakan lama sebelum malam itu. Beberapa Jumaat kebelakangan ini, nama baginda sudah tidak disebut di dalam khutbah.
“Walaupun engkau dipecat, nyawamu berada di dalam jaminan kamiâ€, Esat PaÅŸa menyambung katanya.
Sultan Abdul Hamid memandang wajah puteranya Abdul Rahim, serta puteri baginda, Åžadiye. Malang sungguh anak-anak ini terpaksa menyaksikan kejadian malam itu.
“Bawa adik-adik kamu ke dalamâ€, Sultan Abdul Hamid mengarahkan Amir Abdul Rahim membawa adik beradiknya ke dalam bilik.
“Aku tidak membantah keputusanmu. Cuma seperkara yang kuharapkan. Izinkanlah aku bersama keluargaku tinggal di istana ÇaraÄŸan. Anak-anakku ramai. Mereka masih kecil dan aku sebagai bapa perlu menyekolahkan merekaâ€, Sultan Abdul Hamid meminta pertimbangan. Baginda sudah tahu yang tiada gunanya untuk keputusan yang dibawa oleh rombongan itu dibantah.
Itulah kerisauan terakhir baginda. Mengenangkan masa depan anak-anaknya yang ramai. Sembilan lelaki dan tujuh perempuan adalah jumlah yang besar.
Permintaan Sultan Abdul Hamid ditolak mentah-mentah oleh keempat-empat lelaki pengkhianat Ummah itu. Malam itu juga, baginda bersama ahli keluarganya hanya dibenarkan membawa sehelai dua pakaian, dan mereka diangkut di dalam gelap menuju ke Stesyen Keretapi Sirkeci. Khalifah terakhir umat Islam, dan ahli keluarganya dibuang negara ke Salonika, Greece.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar!â€, azan berkumandang di puncak menara Masjid Hamidiye di Istana Yıldız itu.
Saya tersentak dari lamunan. Lengan baju saya basah mengusap air mata yang semacam tidak mahu berhenti. Pahit sungguh kenangan peristiwa malam itu.
Diari Sultan Abdul Hamid yang diterjemahkan oleh ahli sejarah Mesir yang saya anggap sebagai guru, Dr. Muhammad Abdul Hamid Harb, dikepit di bawah lengan. Saya melangkah lesu ke saf di depan masjid. Dua rakaat Rawatib saya dirikan dengan penuh lemah, menahan kesedihan dan kekecewaan yang sukar saya ungkapkan dengan bicara.
Angin lesu bertiup bersama gerimis salji di petang itu. Pohon-pohon yang tinggal rangka, semacam turut sedih mengiringi perjalanan saya menjejak tragedi penggulingan Sultan Abdul Hamid. Saya berjalan menuju ke Barbaros Bulvari untuk mengambil bas ke Eminonu.
Di Eminonu, saya berdiri sendirian memandang lepas ke Galata di seberang teluk. Bukit itu pernah menyaksikan kegemilangan Sultan Muhammad al-Fatih dan tenteranya yang telah menarik 70 kapal menyeberang bukit dalam tempoh satu malam. Semuanya gara-gara teluk di hadapan saya ini, yang telah dirantai pintu masuknya oleh Maharaja Constantinople. Sejarah itu sejarah gemilang. Ia mengundang bangga dan syukur.
Tetapi bukan itu yang mahu saya kenangkan.
Stesyen Keretapi Sirkeci
Saya melangkah menuju ke Stesyen Keretapi Sirkeci, tempat Sultan Abdul Hamid beserta sekalian isteri dan anaknya dihantar pergi meninggalkan bumi Khilafah, ke istana buruk milik Yahudi di Salonika, pembuangan negara sebelum seluruh khilafah dimusnahkan di tangan musuh Allah; si Yahudi dan konco-konco Ittihad ve Terakki.
Gerombolan tentera kedengaran melangkah penuh derap ke istana. Meriam diletupkan sebagai petanda Sultan Mehmed V ReÅŸad ditabal menjadi raja boneka. Rasmilah malam itu Sultan Mehmed V ReÅŸad menjadi Khalifah ke 99 umat Islam semenjak Abu Bakr al-Siddiq r.a. Tetapi khalifah yang satu ini sudah tiada kuasa. Hanya boneka umpan menahan pemberontakan masyarakat terhadap pembubaran Khilafah Othmaniyyah.
“Entahlah, di saat hidup dan matiku tidak menentu, aku terasa begitu tenang dan aman. Seperti sebuah gunung besar yang selama ini menghempap dadaku, diangkat penuh kelegaanâ€, kata Sultan Abdul Hamid di dalam diarinya.
Sultan Abdul Hamid mengusap kepala anaknya Abdul Rahim yang menangis ketakutan. Anak-anaknya yang lain turut menangis sama. Perjalanan dari Sirkeci Istanbul menuju ke Salonika di Greece penuh misteri.
“Sabarlah anak-anakku. Jika Allah mengkehendaki kematian bagi kita, bukankah kematian itu kesudahan untuk semuaâ€, kata Sultan Abdul Hamid kepada sekalian kaum kerabat baginda.
Kereta api meluncur laju. Bumi khilafah ditinggalkan di belakang. Sejarah kegemilangan 600 tahun Bani Osman, berakhir malam itu. Palitan hitam yang mustahil untuk diputihkan kembali.
Dalam suasana malam yang sejuk, Sultan Abdul Hamid II melunjurkan kakinya di atas kerusi kereta api sambil dipicit oleh anaknya Fatimah.
“Sabarlah anakku, Ummah tidak tahu apa yang telah mereka lakukan kepada umat Muhammad iniâ€, baginda mengusap wajahnya dengan linangan air mata.
Saya seperti terpaku melambai baginda pergi.
Saya tinggalkan Sirkeci dan melangkah membawa diri ke stesyen tram. Saya mahu ke Beyazid.
Lama benar baginda dan ahli keluarganya dikurung di istana Yahudi yang buruk itu. Mereka dikurung di dalam bilik tanpa perabot. Pintu dan tingkap istana, dilarang daripada dibuka. Hari demi hari, adalah kematian sebelum mati bagi baginda sekeluarga. Akhirnya pada tahun 1912, Sultan Abdul Hamid dibawa pulang ke Istanbul, dan anak-anaknya bercerai berai, dibuang ke Perancis sebagai pengemis dan pelarian yang merempat di jalanan.
Sultan Abdul Hamid dikurung di Istana Beylerbeyi selama 6 tahun.
“Maafkan patik, Tuanku. Mereka tidak mengizinkan saya untuk hadir lebih awal”, doktor yang merawat Sultan Abdul Hamid berbisik ke telinga baginda.
Nafas Sultan Abdul Hamid turun naik. Penyakit asthma baginda semakin serius. Doktor sudah tidak dapat berbuat apa-apa.
Renungan Sultan Abdul Hamid menghancurkan hati doktor tersebut. Bagaimana seorang khalifah umat ini harus menemui ajalnya di tangan beliau.
“Ampunkan aku ya Allah. Tiada upaya bagi hamba-Mu yang lemah ini”, seorang doktor sudah hilang upaya.
Baginda Sultan Abdul Hamid II telah menghembuskan nafasnya yang terakhir di dalam kurungan di Istana Beylerbeyi pada 10 Februari, 1918. Pemergiannya diratapi oleh seluruh penduduk Istanbul kerana mereka sudah sedar, apakah harga kebodohan mereka membiarkan Khilafah Othmaniyyah dilumpuhkan selepas penggulingan Sultan Abdul Hamid, 10 tahun yang lalu. Menangislah… tiada sejarah yang mampu memadamkan penyesalan itu.
Selepas turun di Beyazid, akhirnya saya tiba di hadapan makam Sultan Abdul Hamid
“Akhirnya di sini tubuhmu bersemadi. Maafkan saya Tuanku kerana tidak segagahmu untuk mempertahankan Ummah iniâ€, saya berdiri sepi di dinding makam.
Akhirnya, petang itu saya coretkan kenangan melalui sebuah nasyid yang saya cipta di sisi makam Sultan Abdul Hamid:
[coolplayer width="480" height="380" autoplay="0" loop="0" charset="utf-8" download="1" mediatype=""]
Catatan di Bumi Khilafah - Video Clip
[/coolplayer]
CATATAN DI BUMI KHILAFAH [mp3]
Sebuah taman bernama Daulah
Retak seribu oleh kesombongan bangsa
Seorang khalifah yang gigih memerintah
Mengekang rekah dari terbelah
Bagai terdengar bisikan di pusaramu
“Ya Muslimi al-Aalam, Ittahidu!â€
(Wahai Muslimin sekalian alam, bersatulah kamu)
Di sisi persemadianmu
Kuterkenang semalam
Hari-hari indah bahagia
Islam pernah gemilang
Tiada penderitaan
Keimanan pun dirasa
Islam yang gagah bertakhta
Rahmat alam semesta
Langit tidak akan cerah selamanya
Mendung datang bersama gerimis kedukaan
Rebahlah ummah bersama catatan sejarah yang hitam
Kekallah dunia dalam hina selamanya
Bumi Turki menyaksikan pengkhiatan agama
Mahkota negara jatuh gugur berkecai tidak tersisa
Lemaslah ummah dalam pelukan kemajuan yang berdusta
Islam dan al-Quran diperhina terpenjara
Seorang iblis yang durjana
Bertopengkan manusia
Membutakan mata rakyatnya
Dengan janji dunia
Bagai tak punya agama
Hidup membina harta
‘Islam Baru’ yang dicipta
Jauh dari Tuhannya
Manusia yang mulia di bumi yang bahagia
Kau hancurkan sejarah warisan perjuangan mereka
Namun lupakah engkau Islam itu di tangan Tuhannya
Langit tidak akan mendung selamanya
Bumi Turki menyaksikan kebangkitan kali kedua
Menjejaki perjalanan hari-hari semalam yang dilupa
Bersemadilah kau dalam kemurkaan Tuhan yang Esa
Islam akan dikembalikan ke takhtanya
Lagu / Lirik / Nyanyian: Hasrizal Abdul Jamil
Persembahan: Usrah al-Firdaus
Album: Dunia Ini (1996)
Aku yakin yang ahli sejarah akan membelaku. Seandainya ahli sejarah Turki tidak melakukannya sekali pun, aku pasti akan ada ahli sejarah luar yang akan menegakkan keadilan buatku
“Aku yakin yang ahli sejarah akan membelaku. Seandainya ahli sejarah Turki tidak melakukannya sekali pun, aku pasti akan ada ahli sejarah luar yang akan menegakkan keadilan buatkuâ€, Sultan Abdul Hamid menulis suara hatinya ketika di pembuangan di Salonika, Greece.
Posted by Fathiah at 10:39 PM 0 comments
..... Episod 104 ..... - missing u -
Satu ketika dahulu ..
mereka kata ' yok la fakya , pi syria ngan kitorg '
satu ketika dahulu...
aku kata ' korang la pi mesir '
Akhirnya ...
kami terpisah antara dua negara ..
walau tak sejauh mana...
perpisahan tetap terasa..
Tangan tak sampai..
akal tak tercapai...
hanya hati jadi pengikat..
hanya doa jadi pengubat..
Setiap kali
gambar mereka bertiga ku tatap ..
ianya hanya..
mengundang airmata..
Sekarang ..
aku kata ' how i wish u gerls were here with me '
mereka kata ' how we wish u were here with us '
aku kata ' kalau ada rezeki kita nak ke sana '
mereka kata ' ahlan wa sahlan '
kalau ada rezeki pun ... mereka nak ke sini ...
Kepulangan ku nanti...
akan disambut oleh keluarga...
kepulangan mereka..
walau seorang bukan bertiga..
akan tetap ku nantikan kehadirannya...
satu2 nya kepulangan
yang dapat mengembalikan
semangat yang hampir hilang...
jiwa yang hampir kalah...
senyuman yang semakin pudar ... :'(
I've been missing u girls! Doakan kita ye .. ad dua' bid dua'
Ya Habibi ya Rasulallah ... khuz biadiina
Posted by Fathiah at 3:57 AM 0 comments
Saturday, July 12, 2008
..... Episod 103 .... - Kita hanya merancang :) -
Bismillahil waduudul ghafuur
Akhirnya , dah pun sampai ke episod 103 ( episod 102 masih dalam proses untuk di post ) . ' wah dah episod seratus nampak , dah boleh buat jubilee ' ... haha , kelakar la kak cik ni . ok , jadinya post ni setakat nak letak jek plan2 yang ana ada sepanjang masa belajar kat sini. Alhamdulillah , Allah dah kasi xtra masa untuk ana selesaikan semua urusan ilmu yang ana akan lakukan insya Allah . Meh kita go through sama - sama eh .... kalau sekiranya ada masa ana terlupa ke , kengkawan yang baca boleh ingatkan ye ;) .
1 - Kursus khat ( 4 tahun lagi baru selesai )
2 - Khatam hafalan al-quran ( go fatya go! sikiiiit jek lagi )
3 - Talaqqi ( dah ade 2... so lagi brapa qiraat ehk..hmm?? mintak2 dapat habis jazari skali :D)
4- Lesen kereta ( hihi... teringt zaman2 amek btt kat sg )
5- AUC ( last on the list , not really interested ah . hehe )
Buat masa sekarang ni jek yg teringat . i'll keep updating this episode :) , kepada kengkawan yang masih ingat ana tipu antum tntg keputusan ana ... Ana tak tipu . kan tak baik tipu2.. Allah marah.. heeee :D Doakan ana ye semua .
Posted by Fathiah at 4:19 PM 0 comments
Wednesday, July 9, 2008
.... Episod 101 .... - A blessing indeed -
Alhamdulillah , akhirnya result exam dah pun keluar . Walaupun ia bukan satu busyra , tetapi ia tetap melegakan dan menyenangkan . Pasti ramai yang heran dan tak percaya bila saya kata , secara peribadi saya tak sedih dengan keputusan yang saya terima . Kenapa? kerana saya tak nampak keperluan untuk bersedih .
SEBABNYA :
Pertama , gagal tidak menutup segala pintu kejayaan yang lain untuk terbuka .
Kedua , Kejayaan yang sebenar datang selepas kegagalan , orang yang tak pernah gagal hanya melalui proses memantapkan kedudukannya dan itu bukanlah kejayaan .
Ketiga , orang yang sering jatuh lalu bangun semula , lebih mensyukuri ni'mat berdiri yang telah Allah beri dari orang yang tak pernah jatuh langsung .
Keempat , ia satu ujian dari Allah , dan orang-orang yang diuji adalah orang2 terpilih yang menjadi pilihanNYA . Orang - orang mukmin bila ditimpa satu ujian mereka akan tersenyum kerana itu satu tanda Allah mengasihi mereka . ( Mudah-mudahan saya dapat mencontohi mereka )
Kelima , Saya yakin , bila datang ujian demi ujian yang tak pernah putus , tanpa saya sedari , saya menjadi lebih kuat untuk menghadapi ujian lain yang menanti . UJIAN hanyalah satu proses untuk menjadikan saya insan yang mengenal erti hidup dan juga proses untuk menjadikan saya insan yang tahan lasak dengan cabaran yang menanti diri ini .
Keenam dan yang terakhir , saya tak sedih sebab saya belajar bukan untuk satu natijah yang membanggakan orang sekeliling tapi hakikatnya saya hanya berjaya mengumpulkan maklumat yang saya baca dan hafal , tapi saya belajar untuk hadaf da'wah yang memerlukan ilmu itu benar2 masuk dalam hati saya untuk menjadi insan berilmu yang diperlukan ummah kini dan akan dtg .
Kalau dulu saya hanya bisa ungkapkan kata2 seperti ' Masya Allah lah ust/ustz ni , Allah beri die kekuatan untuk hadapi ni semua ' , tetapi sekarang aku dah rasakan sendiri . Ujian tu , bila kita redha dengan kehadirannya , ianya menjadi manis sekali . Terasa diri dikasihi , disayangi oleh ar-rahman ar-rahim . Mungkin Allah sengaja menguji tahap cintaku pada lughah untuk melihat sejauh mana aku benar2 ingin menyelaminya . Dengan izinnya , aku tidak akan pernah kalah dengan apa pun halangan yang ada . Kerana lughah aku pilih demi Al-Quran . Aku yakin , pemilik Al-Quran akan sentiasa mengiringi perjalanan berliku ini :D
" Ujian Allah datang dengan hikmah dan kebaikan . Kitalah yang perlu bijak mencarinya "
Posted by Fathiah at 2:59 PM 0 comments
Tuesday, July 8, 2008
.... Episod 100 .... - Sabar yee -
Allhumma Solli 'ala Sayyidina Muhammad
' Ad - dunya darul balaa' mush gannah ' Kata - kata syeikh redha membuat aku tersentak .. tersedar daripada satu kekalutan yang sentiasa menghantui diri ini . Ujian yang datang bertimpa - timpa sering membuat aku lemah.. Sedangkan hakikatnye , itu hanya satu ujian biasa yang kalau dibandingkan dengan mereka yang berdepan dengan peperangan dan kemiskinan , itu jauh lebih menguji .
Kalau dunia itu darul balaa' , segala ujian yang ada hanyalah satu kebiasaan yang tak perlu nak dikecohkan , yang tak perlu nak ditakutkan , yang tak perlu nak disingkirkan . Kerana ia tak akan pernah tersingkir . Tetapi , ia akan sentiasa menemani .
Kalau dunia itu darul balaa' maka sabar adalah isinya . Munajat adalah penghiasnya . Menangis ? adakah ia satu keperluan kerana sedih diuji atau ia satu kemuliaan kerana meminta diri diredhai tuhan .
Kalau dunia darul balaa ' , aku harus terus tersenyum ... tanda syukur atas ni'mat yang diberikan dan terus menangis .... tanda kesal kerana sering mengeluh bila diuji :'(
" Seorang mukmin , terasa ramai dalam seorang , terasa kenyang dalam lapar , terasa lulus dalam gagal "
Posted by Fathiah at 2:14 PM 0 comments
Monday, July 7, 2008
.... Episod 99 ..... - Ku biar kalam berbicara -
" Ku biar kalam berbicara ..
Menghurai maksudnya di jiwa ..
Agar mudah ku mengerti segala yang terjadi..
sudah suratan ilahi .. "
" Ku biarkan pena menulis..
meluahkan hasrat di hati..
moga terubat segala keresahan di jiwa
tak pernah ku ingini "
Posted by Fathiah at 2:46 PM 0 comments
Sunday, July 6, 2008
.... Episod 98.... - Terima kasih adik -
Terima kasih adik..
Sepatutnya .. Aku yang mengalah
Aku yang berkorban ...
Aku yang resah gelisah...
Tapi takdir menentukan sebaliknya ..
Terima kasih adik ..
perasaanmu jelas dipandanganku ..
keperluan kami ..
kau dahulukan .....
Keperluanmu.. kau tangguh dulu ..
Terima kasih adik..
kerana sudi ringankan beban ibu & ayah..
Terima kasih adik ..
kerana sibuk fikirkan ..
pengorbanan apa lagi yang harus kau lakukan..
Aku tak halang perjalananmu...
tapi jangan kerana perlukan dunia...
kau lupa ghayah akhiratmu ..
Jangan pernah rasa tertekan..
kerana satu hari nanti..
aku pasti...
Allah akan mudahkan langkahmu..
untuk tempuhi lorong seorang mujahidah.. :)
Terima kasih adik...
Posted by Fathiah at 7:41 PM 0 comments
.... Akhirnya ku temui dia Al-Ghazali ....
Pagi itu semasa saya sedang sibuk dengan urusan di pejabat, saya menerima panggilan telefon daripada Encik Saharom, Ketua Editor Majalah I. Beliau meminta supaya saya menulis satu tajuk yang amat membingungkan. Selalunya saya menawarkan diri menulis tajuk-tajuk yang saya mahir, tetapi kali ini Encik Saharom meminta saya mempertahankan seorang tokoh yang tidak saya kenali iaitu Imam Ghazzali!
Terkasima saya seketika… masa yang diberikan untuk menyiapkan artikel tersebut adalah dua minggu.
“Minta maaf Encik Saharom, dua minggu tidak mungkin bagi saya untuk memenuhi permintaan ini”. Akhirnya dua minggu tersebut berubah menjadi dua bulan!
Saya sudah mengetahui tentang Imam Ghazzali semenjak saya di bangku sekolah rendah lagi. Arwah Abah mengumpul duit berbulan-bulan untuk membeli kitab terjemahan Ihya’ Ulumiddin dan saya cuba berkongsi pembacaan dengan arwah Abah. Namun usia terlalu muda pada masa itu dan arwah Abah kembali kepada Allah ketika saya dengannya sudah mula berjinak-jinak dan lunak dengan Ihya’.
Apabila saya melanjutkan pelajaran ke Jordan, saya membina persepsi separa sedar tentang Imam Ghazzali. Saya tahu beliau seorang tokoh agung di dalam Islam, beliau adalah hujah Islam, beliau adalah nama yang tidak boleh dipinggirkan oleh penuntut ilmu Islam. Namun semasa itu saya kecewa kerana saya gagal menghayati di manakah sebenarnya kehebatan Imam Ghazzali. Punca utama kegagalan saya pada masa itu adalah berkisah kepada dua persoalan iaitu kelemahan hadith di dalam penulisan Imam Ghazzali dan yang keduanya ialah soal Falsafah.
Saya rasa tersentuh dengan kitab Ihya tetapi saya terganggu dengan hadith-hadith di dalam kitab tersebut. Banyak sekali hadith yang saya tidak kenal dan tidak tahu di mana hendak mencari maklumat mengenai statusnya. Saya amat bimbang membiarkan diri saya tersentuh oleh ‘rasa’ yang ketara di dalam kitab Ihya’ kerana bagi saya, ia adalah suatu gerak hati yang amat mudah untuk dicengkam belitan tipu daya Iblis. Masakan tidak, solat di rumah terasa khusyu’, solat di masjid sering terganggu. Mulut bau petai, stokin jemaah busuk, penuh tahi cicak dan macam-macam gangguan solat di masjid. Maka jika hendak mengikut ‘rasa’, akhirnya dengan mudah saya boleh mengambil keputusan untuk solat sahaja di rumah, dan… menanglah syaitan di dalam tipu dayanya.
Manakala soal kedua, Jordan tidak menyediakan subjek Falsafah bagi pelajar Syariah. Saya pernah belajar ilmu logik semasa di sekolah menengah, sebagai muqaddimah kepada Falsafah. Saya juga tahu ilmu Falsafah itu penting terutamanya ketika mendengar huraian-huraian Tuan Guru Nik Abdul Aziz yang banyak menggunakan suntikan Falsafah. Falsafah Tuan Guru mudah, tajam dan konklusif. Tetapi tidak di Jordan. Saya mendapat persepsi yang negatif terhadap Falsafah dan saya memang membencinya. Tambahan pula, pensyarah-pensyarah yang mengajar subjek Falsafah di universiti sering kelihatan ‘ego’ dengan falsafah mereka seolah-olah orang lain tiada kualiti intelek.
Saya cuba menghadiri satu dua kuliah Falsafah di fakulti lain namun saya tenggelam punca. Tetapi kerana sedar tentang perlunya saya mendapatkan asas Falsafah, akhirnya saya membeli beberapa buah buku berkaitan Falsafah. Mudah-mudahan kalau saya tidak membacanya hari ini, mungkin suatu hari nanti saya memerlukannya. Tetapi ada suatu buku yang menarik perhatian saya iaitu kitab Qissatul Iman oleh Sheikh Nadim al-Jisr. Di dalam kitab tersebut saya membaca tentang perjalanan penulisnya di dalam kembara mempelajari ilmu Falsafah. Dari Afghanistan, beliau merantau ke Asia Tengah dan akhirnya tok guru beliau berpesan, “Falsafah ini adalah lautan. Jika kamu berlayar di permukaannya, kamu akan bertemu dengan ribut taufan yang menggila dan kamu boleh karam. Tetapi jika kamu menyelam hingga ke dasarnya, maka kamu akan bertemu khazanah berharga yang tersimpan di perut lautan itu”. Wah, saya amat terkesan dengan kenyataan itu dan ia menjadikan saya termenung berhari-hari sehingga akhirnya saya luahkan kebuntuan fikiran dengan menulis sajak “Riwayat Aku Sebagai Air”.
Namun saya masih tidak dapat menyelesaikan krisis saya terhadap Imam Ghazzali. Saya difahamkan oleh rakan-rakan, majalah, diskusi dll, bahawa Ibnu Taimiyah dan Imam Ghazzali sama-sama pakar di dalam Falsafah. Tetapi Ibnu Taimiyah mempelajari Falsafah untuk menghancurkan Falsafah, manakala Imam Ghazzali mempelajari Falsafah dan dia tenggelam di dalam Falsafah!
TIDAK MENELAN BULAT-BULAT
Hmm, saya tidaklah menelan bulat-bulat kenyataan ini tetapi saya membiarkan masa berlalu tanpa membuat pemeriksaan lanjutan. Terlalu banyak agenda kehidupan dan akhirnya ‘terkilan’ saya terhadap Imam Ghazzali terbiar begitu sahaja. Saya terkilan kerana saya tahu dia hebat, namun saya tidak tahu di mana kehebatannya. Saya tahu kitab Ihya beliau adalah kitab tajdid di zamannya tetapi saya tidak tahu di mana keagungan kitab tersebut. Puncanya masih berlegar pada dua isu tadi; hadith dan Falsafah. Namun saya bersyukur kerana sistem pengajian di Jordan menjadikan saya terdidik untuk amat kasih dengan semua ulama’, tidak taasub dengan mana-mana tokoh walau sehebat mana, hingga boleh membutakan mata dari mencari kebenaran. Saya selesa dengan Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim, saya juga tenang membaca hasil Imam Maturidi malah al-Buti di dalam kitabnya Kubra al-Yaqiniyyat al-Kauniyyah. Saya boleh bersikap adil terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab walaupun saya amat obsess dengan Daulah Othmaniyyah yang dimusuhi oleh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Tetapi saya mahu mengasihi Imam Ghazzali sedangkan saya tidak tahu di mana lubuk cintanya. Saya mahu berbaik sangka dengan al-Ghazzali terhadap kelemahan-kelemahannya tetapi saya tidak tahu apa alasannya…
Perasaan itu terpendam di dalam diri hinggalah akhirnya saya diminta bangun dan membela Imam Ghazzali yang diserang oleh Astora Jabat! Walaupun saya tidak begitu arif tentang asas perbalahan Imam Ghazzali dengan al-Farabi dan Ibn Sina, namun untuk membiarkan Astora Jabat menghukum Imam Ghazzali sebagai berdosa besar kerana menghukum kafir kepada al-Farabi dan Ibn Sina pada tiga isu (alam qadim, Tuhan tidak mengetahui hal yang juz’ie dan manusia bangkit di Mahsyar dengan roh tanpa jasad), ia adalah sesuatu yang keterlaluan. Malah Astora Jabat menuduh al-Ghazzali telah melakukan ‘keganasan pemikiran’. Aduh, najis apa yang mahu ditabur oleh Astora Jabat kali ini? Saya kepanasan tetapi saya tidak kenal siapa al-Ghazzali dan saya tidak tahu bagaimana saya hendak membela dan mempertahankannya.
KEMBARA BERMULA
Di sinilah kembara saya mencari al-Ghazzali bermula. Syukur Alhamdulillah, saya berikan kredit kepada Fitrah Perkasa, tempat saya bekerja. Kami banyak menjadikan bahan Imam Ghazzali sebagai asas pembangunan modul. Kitab Ihya, Kimiyaa’ as-Saadah, Ayyuhal Walad dan sebagainya menjadi rujukan. Namun saya belum benar-benar dapat melihat manhaj al-Ghazzali. Tetapi sekurang-kurangnya kehebatan Imam Ghazzali mula terserlah sedikit demi sedikit.
Apabila Encik Saharom meminta saya menulis, saya berazam untuk mengambil peluang ini sebagai dorongan saya mendalami Falsafah dan al-Ghazzali. Kitab-kitab Falsafah yang saya beli 8 tahun yang lalu, saya punggah dari rak buku dan saya berulang ke kedai buku sekitar Kuala Lumpur untuk mencari bahan. Saya perlu mengetahui secara lengkap tentang al-Ghazzali, Aristotle, Plato, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rushd dan huraian-huraian yang huru-hara di dalam memahami asas neo-Platonian, Aristotalian serta cabang-cabang tajuk yang lain. Walaupun mungkin tulisan saya untuk Majalah I pendek sahaja, namun prinsip saya ialah seorang penulis mesti lebih banyak membaca daripada menulis. Jika seorang penulis lebih banyak menulis daripada membaca, maka itulah saat-saat bangkrap seorang penulis. Saya perlu memahami sesuatu tajuk secara menyeluruh, kemudian barulah saya boleh membuat keputusan tentang banyak manakah hasil pembacaan saya itu yang hendak dikeluarkan sebagai artikel penulisan.
UJIAN MASA
Saya tersedar di dalam kembara ini bahawa upaya saya di dalam pembacaan sudah tidak seperti dulu. Saya keluar rumah untuk ke pejabat pada jam 7:15 pagi. Saya sampai ke rumah pada sebelah petang pula ialah sekitar 7:15 petang. Saya mesti meluangkan masa berinteraksi dengan isteri dan anak-anak sebelum mereka tidur, khususnya anak sulung saya yang sedang membesar dan ‘banyak tanya’. Apabila jam mencecah 10:30 malam, saya pula sudah terlalu letih untuk membaca. Itu jika saya tidak berkuliah. Banyak hari yang saya perlu ke masjid-masjid untuk mengajar. Kerja saya di Fitrah Perkasa pula menuntut saya untuk out station sehingga 15 hari sebulan malah pernah mencecah 22 hari pada bulan Jun yang lalu. Iaitu bulan saya dihubungi oleh Encik Saharom. Akhirnya masa yang ada pada saya hanya dua. Pertamanya perjalanan pulang di dalam LRT iaitu antara Stesyen Taman Melati dan KLCC (selepas KLCC, tren sudah terlalu padat dan tidak sesuai untuk membaca buku). Manakala masa kedua ialah bangun seawal 4 pagi untuk membaca dan menulis. Itulah sahaja masa yang ada dan saya menginsafi hal masa ini sehingga pernah saya coretkan dalam pesanan kepada rakan-rakan yang masih di bangku pengajian universiti, supaya memanfaatkan masa dengan membaca malah terasa lebih utama membanyakkan pembacaan semasa menjadi pelajar, berbanding dengan membanyakkan sembahyang sunat!
Dua bulan saya cuba membaca, memahami, mencari forum-forum online di internet untuk berbincang tentang Falsafah dan Imam Ghazzali. Terdetik hati untuk berhubung dengan rakan-rakan yang kini sudah bergelar pensyarah dan doktor di universiti, namun diri rasa terlalu kerdil untuk mengajak ahli akademik berkongsi buah fikiran.
PENEMUAN TERBESAR MENJELANG USIAKU 30
Setelah berhempas pulas membaca, akhirnya saya menemui jawapan yang dicari selama ini. Hasil tulisan saya telah pun tersiar di dalam majalah I keluaran September 05. Saya simpulkan sedikit di sini dan artikel penuhnya akan saya muatkan di Saifulislam.Com pada pertengahan bulan ini Insya Allah.
Pada saya, Imam Ghazzali sebenarnya sama sahaja dengan Ibn Taimiyah di dalam soal Falsafah. Kedua-dua mereka mempelajari Falsafah kerana mahu menghancurkan ilmu yang telah menipu umat Islam ini. Akan tetapi Imam Ghazzali lebih berjaya kerana Ibn Taimiyah tidak pernah dianggap sebagai ahli Falsafah oleh ahli Falsafah. Oleh yang demikian, penulisan beliau yang hebat tidak dipedulikan oleh ahli Falsafah kerana beliau bukan sebahagian mereka. Namun Imam Ghazzali menggunakan pendekatan yang bijaksana. Beliau menulis sebuah buku yang telah menyerlahkan kehebatan beliau di dalam bidang Falsafah iaitu melalui kitab pertamanya di bidang ini, Maqasid al-Falasifah. Janganlah sekali-kali disangka bahawa buku ini adalah sebuah buku yang hanya sejilid. Maksud saya, buku ini adalah bahagian pertama daripada penulisan al-Ghazzali. Beliau tidak mengkritik Falsafah di dalam buku ini atas hikmah-hikmah yang besar. Kerana buku ini, ahli Falsafah mengagumi Imam Ghazzali dan menganggapnya sebagai tokoh penting dan hebat. Manakala bagi sesetengah orang, buku ini menjadi alasan untuk mengkritik Imam Ghazzali kerana beliau dianggap sebaris sahaja dengan ahli Falsafah lain lantaran buku tersebut yang menjadi rujukan Falsafah.
Akan tetapi, Imam Ghazzali menyambung tulisannya di dalam Maqasid al-Falasifah itu di dalam buku kedua beliau iaitu Tahafut al-Falasifah. Di dalam kitab inilah Imam Ghazzali menghentam habis-habisan ilmu Falsafah yang cuba mengatasi wahyu. Soal Fizik dan cabang Falsafah yang lain, Imam Ghazzali menerima bahkan menyanjungnya. Cuma Falsafah yang cuba menganalisa Tuhan dan Ketuhanan itulah yang ditentangnya. 3 kufur dan 17 bid’ah, itulah kesimpulan al-Ghazzali di dalam kitabnya itu. Akibat buku ini, Imam Ghazzali benar-benar telah membinasakan momentom kaki Falsafah di kalangan umat Islam tersebut. Malah tokoh-tokoh Falsafah sedunia bersetuju bahawa kitab Tahafut itu telah menghancur leburkan Falsafah di dalam tamadun Islam dan gagal dibangkitkan semula walaupun oleh usaha Ibn Rushd melalui bukunya Tahafut al-Tahafut, iaitu buku yang ditulis untuk mengkritik pandangan al-Ghazzali. Maka helah al-Ghazzali lebih berjaya berbanding dengan Ibn Taimiyah. Al-Ghazzali memulakan serangannya dengan meletakkan dirinya di tengah-tengah kelompok ahli Falsafah. Apabila mereka menerima dan mula menyanjung al-Ghazzali, maka barulah beliau mengeluarkan taringnya. Hanya jauhari yang kenal manikam!
Wah, gembiranya saya dengan hal ini. Saya gembira kerana saya dapat memahami al-Ghazzali. Saya gembira kerana saya yakin Imam Ghazzali bukanlah seperti yang saya faham selama ini. Malah saya tidak lagi perlu berbaik sangka sebab Imam Ghazzali memang baik, memang hebat dan sememangnya Hujjatul Islam.
Malah hati saya terus tersentuh di antara sedih dan gembira, pilu dan kagum terhadap Imam al-Ghazzali. Saya membaca kembara hidupnya dan saya amat pilu melihat Imam Ghazzali yang hebat itu masih terus mencari-cari suatu kesimpulan kepada ilmunya. Beliau telah menjadi ulama seperti yang biasa di zaman itu. Beliau juga sudah menghalusi soal pendidikan hati, beliau juga pernah terjun di medan Falsafah, namun akhirnya Imam Ghazzali menghabiskan sisa usianya dengan mendalami ilmu Hadith. Beliau berusaha gigih untuk mengatasi kelemahannya di dalam ilmu Hadith dan ini membawanya kepada menuntut ilmu Sahih al-Bukhari dan Muslim melalui Hafiz ‘Amr ibn Abi al-Hasan al-Rawasi. Jika Imam Ghazzali sendiri mengakui kelemahannya di dalam ilmu Hadith dan telah cuba mengatasinya sehingga ke akhir-akhir hayat beliau, maka saya dengan sendirinya dapat menilai bagaimana sepatutnya saya membaca kitab Ihya’ secara adil.
Kata Ibn Jawzi di dalam Ithaf as-Saadah:
“Hari itu hari Isnin. Dia (al-Ghazzali) bangkit pada waktu Subuh, berwudhu’ dan menunaikan sembahyang subuh. Kemudian dia meminta supaya dibawakan kepadanya kain kapan beliau. Sambil mengambilnya, dia mencium kain kapan itu serta meletakkannya pada mata beliau lalu berkata, “Aku tunduk kepada perintah Tuhanku”. Kemudian beliau berbaring sambil mengadapkan mukanya ke arah Qiblat dengan meregangkan kakinya. Apabila orang ramai memeriksanya, al-Ghazzali sudah meninggal dunia”.
Terhambur air mata saya di suatu subuh yang hening. Semoga al-Ghazzali ditempatkan Allah di makam yang mulia dan terpuji, bersama-sama ulama Islam yang lain, yang telah mewakafkan hidup mereka membimbing umat dan meneruskan misi Nubuwwah Rasulullah SAW.
Berhari-hari saya tersenyum sendirian kerana Tuhan telah membantu saya untuk mengenali al-Ghazzali. Ketika di usia 20, saya dapat menyelesaikan pandangan saya terhadap khalifah Islam terakhir iaitu Sultan Abdul Hamid II dan di usia 30, saya diizinkan Allah mengenali, menghargai dan menghormati Imam al-Ghazzali.
Walaupun maklumat saya tidaklah seberapa dan artikel saya di dalam Majalah I itu belumlah tentu dapat menutup mulut Astora Jabat atau benar-benar cukup untuk mempertahankan al-Ghazzali dari serangan Islam Liberal di Malaysia ini, namun sedikit sebanyak saya sudah cukup gembira mengenali al-Ghazzali. Saya benar-benar sudah dapat merasakan kehebatan al-Ghazzali dan saya mahu segera pulang ke Ipoh untuk ke pusara arwah Abah. Akan saya nyatakan di pusaranya, “Abah, Imam Ghazzali yang menulis kitab Ihya dulu, memang hebat!”
Akhirnya kutemui al-Ghazzali….
Posted by Fathiah at 6:26 PM 0 comments
Saturday, July 5, 2008
.... Al-Ghazzali sasaran liberalisasi agama....
DISIARKAN DI MAJALAH I KELUARAN SEPTEMBER 2005
Islam telah memberikan kedudukan yang penting kepada Ulama kerana mereka adalah penyambung kepada misi penyebaran risalah Islam yang ditinggalkan oleh rasul terakhir iaitu Muhammad bin Abdillah SAW. Peredaran masa dan perubahan persekitaran menjadikan ketulenan risalah Islam terdedah kepada cabaran ketidak mampuan manusia memikul beban menjaganya. Walaupun Allah SWT telah memberi jaminan untuk Bertindak dengan DiriNya sendiri sebagai Pemelihara syariat Islam [Al-Hijr 15: 9], namun Sunnatullah menetapkan kepada perlunya mengambil asbab. Oleh yang demikian, di bahu ulama Islam itulah terpikulnya amanah yang besar memindahkan Islam dari satu generasi ke generasi yang lain.
Abu Darda’ meriwayatkan di dalam suatu hadith yang panjang bahawa Rasulullah SAW telah bersabda, “… dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris kepada para Nabi” [riwayat Abu Dawood].
Oleh kerana itu, Allah SWT telah mengikat para ulama dengan beberapa kriteria utama, di antaranya adalah sifat mereka sebagai orang yang paling takut kepada Allah [Faathir 35: 28]. Kesedaran terhadap tanggungan mereka di hadapan Allah sebagai benteng pertahanan agamaNya, menimbulkan rasa takut yang terbit dari dalam hati dan seterusnya mengawal diri dari cuai dan cemar.
Amat mudah untuk kita menerima betapa rasionalnya penghormatan yang diberikan oleh umat Islam kepada institusi ulama’ kerana dari merekalah suluhan syariat Allah itu dipelajari. Walaupun begitu, penghormatan ini adalah atas nilai agama dan bukannya bersifat peribadi sehingga mengundang sifat taasub dan mengangkat para ulama ke darjat yang lebih daripada apa yang telah diperuntukkan oleh Allah SWT.
Di antara tokoh ulama yang terbilang di dalam sejarah keilmuan Islam adalah Abu Hamid al-Ghazzali. Ketokohannya dapat dilihat melalui pelbagai gelaran yang dinisbahkan kepada beliau seperti Hujjah al-Islam, Zayn ad-Din dan sebagainya. Al-Imam al-Ghazzali begitu cemerlang di dalam hampir apa sahaja bidang yang diceburinya sebagaimana yang diperakui oleh Ibn Katheer di dalam al-Bidayah.
CEMUHAN ASTORA JABAT TERHADAP AL-GHAZZALI
Amat mengejutkan apabila Astora Jabat selaku ketua editor Majalah al-Islam telah mengeluarkan suatu justifikasi yang luar biasa terhadap al-Ghazzali. Tulisannya di dalam majalah berkenaan, keluaran Mei 2005, telah menjadikan al-Ghazzali sebagai subjek tumpuannya di bawah tajuk ‘Ulama Mengkafirkan Ulama’. Beberapa hukuman telah dikenakan ke atas al-Ghazzali melalui artikel itu. Beliau dituduh melakukan ‘keganasan pemikiran’ kerana telah mengkafirkan idea al-Farabi dan Ibn Sina di dalam Falsafah.
Pertembungan al-Ghazzali dengan kedua-dua ilmuan Falsafah itu dihuraikan dengan bersandarkan kepada hadith-hadith yang berkaitan dengan Takfir (perbuatan seorang mengkafirkan seorang yang lain) sehingga menimbulkan satu antara dua. Sama ada al-Farabi dan Ibn Sina menjadi kafir sebagaimana yang dituduh oleh al-Ghazzali, atau tuduhan kafir itu terpulang balik dan menimpa al-Imam al-Ghazzali sendiri. Akhirnya, mahkamah Astora Jabat telah memutuskan bahawa perbuatan al-Ghazzali itu tidak membawa kepada pembatalan iman sebagaimana yang difahami secara literal melalui hadith-hadith rujukan beliau. Bahkan al-Ghazzali hanya berdosa besar kerana mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina!
Agak sukar untuk ditentukan apakah sebenarnya yang ingin dicapai oleh Astora Jabat melalui isu semacam itu yang turut diperpanjangkan di dalam artikelnya yang menyusul di dalam Majalah al-Islam keluaran Jun 2005. Beliau mengkritik perbuatan al-Ghazzali dengan nada seperti mengkritik seorang ‘lebai kampung’ yang mengkafirkan seorang yang tidak sebulu dengannya. Atau seumpama seorang penceramah ‘gear lima’ parti Islam yang mengkafirkan seorang anggota parti Taghut yang menolak Islam! Ulasan Astora Jabat itu meninggalkan kesan negatif bukan hanya kepada al-Ghazzali tetapi kepada kedudukan ulama secara keseluruhan. Akhirnya, apa yang terbayang di fikiran pembaca, hanyalah kelakuan cela dan dosa besar para Ulama yang selama ini dianggap sebagai pemimpin rohani umat. Siapa lagi yang boleh diikut dalam soal beragama, jika al-Ghazzali sendiri telah jatuh tersepuk di kancah dosa besar? Akibatnya, ramai umat Islam yang mengambil keputusan untuk bebas diri, tidak terikat dengan suluhan ulama dan masing-masing terpaksa ‘ikut kepala sendiri’ untuk mengamalkan Islam kerana tiada siapa lagi yang boleh dipercayai.
ASAS SERANGAN AL-GHAZZALI TERHADAP AL-FARABI DAN IBN SINA
Karya pertama al-Ghazzali di dalam Falsafah adalah bukunya yang bertajuk Maqasid al-Falasifah yang telah selesai dikarang pada 488H / 1095. Di dalam buku ini, beliau telah menghuraikan asas kepada peripatetic philosophy yang diasaskan oleh Aristotle bersangkutan dengan Logik, Fizik dan Metafizik. Beliau menulis buku ini secara objektif tanpa kecenderungan kepada mana-mana aliran. Ia seolah-olah menjadi muqaddimah kepada kritikan yang bakal dibuat oleh al-Ghazzali terhadap beberapa aspek Falsafah di dalam buku keduanya iaitu Tahafut al-Falasifah.
Mungkin pendekatan al-Ghazzali di dalam Maqasid yang tidak mengkritik sebaliknya hanya membentangkan ajaran neo-Platonist Arab tanpa komen, menyebabkan sesetengah kita menuduh al-Ghazzali sebagai sebahagian daripada neo-Platonist sebaris dengan al-Farabi dan Ibn Sina. Namun perlulah diperjelaskan di sini bahawa, Maqasid al-Falasifah tidak sepatutnya dianggap sebagai sebuah hasil karya yang berdiri sendiri. Sebaliknya ia adalah bahagian pertama strategi al-Ghazzali untuk menembak Falsafah neo-Platonist yang dilakukannya di dalam karangan kedua beliau iaitu Tahafut al-Falasifah.
TAHAFUT AL-FALASIFAH DAN SERANGAN AL-GHAZZALI
Al-Ghazzali telah menyebut di penghujung al-Maqasid bahawa mereka yang ingin mengetahui tentang kebenaran dan kebatilan Falsafah hendaklah menelaah Tahafut. Di dalam Tahafut al-Ghazzali telah membahaskan secara terpeinci tentang 20 perkara; yang mana 3 daripadanya melibatkan soal kekufuran dan 17 perkara yang bersangkutan dengan soal bid’ah.
Ketiga-tiga perkara tersebut adalah pandangan ahli Falsafah tentang sifat qadim bagi alam, ilmu Allah tidak mencakupi perkara-perkara juz’i dan dakwaan mereka bahawa kebangkitan manusia pada hari Akhirat kelak hanya terhad kepada roh sahaja, tanpa jasad. [Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, Professor T. J. De Bour, Amsterdam University, Dar an-Nahdah al-Arabiyyah]
Ahli Falsafah seperti al-Farabi dan Ibn Sina telah melakukan kesilapan kerana cuba untuk menundukkan persoalan di luar tabi’i dengan teori-teori yang bebas berpandukan akal semata-mata. Keterlaluan akal dan Falsafah di dalam hal ini telah mencetuskan kelahiran sekelompok pemikir bebas di kalangan umat Islam yang menolak beberapa ibadah dan syiar Islam seperti persoalan solat dan keperluan meninggalkan larangan agama. Pada rasional golongan ini, ajaran syariat tidak membantu pencapaian intelektual lantaran kekaguman melampau mereka kepada Socrates, Plato, Aristotle dan lain-lain. Bagi mereka, amalan agama hanyalah anasir ritual semata-mata. [Ketokohan al-Ghazzali di Dalam Bidang Logik oleh Dr Mohd Fauzi Hamat, Penerbitan Universiti Malaya]
Inilah yang mendorong al-Ghazzali menghukumkan kufur kepada pegangan sedemikian rupa kerana ia mengundang kepada pembatalan seluruh ajaran Islam itu sendiri. Amat menghairankan, ketika al-Ghazzali bermati-matian mempertahankan kemurnian ajaran Islam dan menegah penyelewengan Falsafah, Astora Jabat menuduh bahawa al-Ghazzali itulah sebenarnya yang membuat keganasan pemikiran dan bukannya peruntuh agama dari kalangan ahli Falsafah berkenaan.
Apakah sebenarnya yang mahu diketengahkan oleh Astora Jabat? Adakah beliau mahu kembali mengambil modal neo-Platonist untuk membuat justifikasi kepada gejala liberalisasi Islam yang menular hari ini?
Memang benar, jika dinilai dari segi disiplin Falsafah serta kemegahan Tamadun Sains umat Islam, al-Farabi dan Ibn Sina adalah tokoh yang disegani. Namun pendirian mereka di dalam tiga persoalan Falsafah tersebut, adalah bertentangan dengan rukun Iman dan manusia dituntut supaya menilai dan menghukum pada yang zahir sahaja sedangkan kepada Allah jualah terserah apa-apa yang tersirat di sebalik kenyataan al-Farabi, Ibn Sina dan yang seumpama dengannya.
Tegasnya, serangan al-Ghazzali terhadap al-Farabi dan Ibn Sina mempunyai asas dan justifikasi yang kukuh dan jelas. Ia jauh sekali untuk dirujuk kepada penegasan Rasulullah SAW tentang fenomena Takfir. Ini bukanlah seperti perbalahan di kedai kopi antara dua manusia bebal yang bermain-main dengan kalimah iman dan kufur. Ia adalah suatu lukisan terhadap garis pemisah di antara iman dan kufur, di antara menyelamatkan agama Allah dengan kebinasaan pembatalan seluruh ajaran Islam itu sendiri.
PUNCA KEKERASAN AL-GHAZZALI
Menurut Dr Mohd Fauzi Hamat di dalam penulisannya bertajuk Ketokohan al-Ghazzali di Dalam Bidang Logik [Penerbitan Universiti Malaya ISBN 983-100-247-4], catatan sejarah menunjukkan bahawa al-Ghazzali tidak mempunyai guru yang khusus di dalam bidang Falsafah, berbeza dengan proses pembelajarannya di dalam bidang Fiqh, Tasawuf dan sebagainya. Beliau hanya diperkenalkan kepada asas ilmu Falsafah semasa menuntut ilmu Kalam bersama al-Juwayni dan sumber-sumber lain di Naysabur dan Madrasah al-Nizamiyyah di Baghdad. Ini diperakui sendiri oleh al-Ghazzali di dalam bukunya al-Munqidz min adh-Dhalal.
Ini dilihat sebagai punca yang membawa kepada pendekatan yang amat keras oleh al-Imam al-Ghazzali kepada ahli Falsafah seperti al-Farabi Ibn Sina. Walaupun kaedah pembelajaran seperti itu telah berjaya membawa al-Ghazzali kepada penguasaan ilmu Falsafah, ketiadaan bimbingan seorang guru dianggap sebagai faktor mengapa al-Ghazzali begitu lantang mengkritik Falsafah [Zaki Mubarak, Al-Akhlaq 'inda al-Ghazzali, Beirut].
Kenyataan ini amat rasional di dalam menilai isu mengapa al-Ghazzali mengambil sikap sedemikian terhadap al-Farabi dan Ibn Sina. Ia tidak sewajarnya dilihat sebagai suatu statement untuk merendah-rendahkan al-Ghazzali. Namun ia adalah suatu dimensi yang perlu dipertimbangkan kerana asas interaksi kita bersama ulama adalah dengan berbaik sangka dan bukannya bertepuk tangan ketika bertemu kelemahan.
Sememangnya mengambil ilmu dari buku tidak sama dengan ilmu yang diambil dari seorang guru. Buku memberikan ilmu tetapi ia tidak membimbing sikap pembaca di dalam pemprosesan ilmu tersebut. Tetapi ilmu yang diambil dari seorang guru, adalah ilmu yang diselit dengan panduan dan bimbingan tentang bagaimana ilmu tersebut patut diproses, diamal dan disampaikan kepada orang lain. Barangkali jika al-Ghazzali berguru di dalam ilmu Falsafah, maka sentuhannya mungkin akan lebih bersederhana dan indah sebagaimana sentuhan beliau di dalam ilmu yang berkaitan dengan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs). Hal ini wajar diteliti dengan baik kerana tuduhan Astora Jabat terhadap al-Ghazzali adalah amat tidak wajar.
Beliau membangkitkan suatu isu yang kompleks dan mengelirukan masyarakat hanya untuk membuat justifikasi terhadap perkara kecil. Beliau mendedahkan kontroversi al-Ghazzali vs. al-Farabi dan Ibn Sina kepada pembaca hanya kerana mahu menerangkan bagaimana beliau dapat keluar dari belenggu ketaksuban terhadap ulama’.
Sedangkan bagi kita semua, sikap taasub terhadap mana-mana ulama atau tokoh masyarakat, sememangnya tidak harus berlaku. Kita perlu berlapang dada menerima bahawa al-Ghazzali, asy-Syafi’e, Ibn Taimiyyah atau sesiapa sahaja adalah manusia yang tidak terjamin daripada melakukan ketidak tepatan di dalam menghuraikan maksud agama. Tetapi jauh sekali untuk kita bersorak gembira dan melepaskan diri dari ulama, atas kesedaran bahawa al-Ghazzali dan ulama lain itu telah juga berdosa besar, seperti kita! Pelik sungguh sifir ini…
Wallahu A’lam.
Posted by Fathiah at 2:34 AM 1 comments
Labels: www.saifulislam.com